Analisis Struktural Puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat Karya Abdul Hadi WM
Tuhan, Kita
Begitu Dekat
Tuhan,
Kita begitu dekat.
Sebagai api dengan panas.
Aku
panas dalam apimu.
Tuhan,
Kita begitu dekat.
Seperti kain dengan kapas.
Aku
kapas dalam kainmu.
Tuhan,
Kita begitu dekat.
Seperti
angin dan arahnya.
Kita
begitu dekat.
Dalam
gelap
Kini
aku nyala
Pada lampu padammu.
Analisis ini sekadar latihan sederhana. Contoh kajian dalam
menelaah sebuah puisi. Di sini penulis melakukan pendekatan hanya pada unsur
intrinsiknya saja, itupun tidak begitu komplet. Penulisannya memakai bentuk
naratif, agar dapat dibaca selayaknya prosa. Semoga saja cukup memberikan gambaran.
Silakan.
Tuhan, Kita Begitu Dekat merupakan
satu dari banyak puisi Abdul Hadi WM yang biasa mengangkat tema-tema Islam.
Puisi ini memiliki gaya bahasa yang begitu dalam, dari pemakaian diksi banyak
mengandung makna konotatif, karena seringkali penyair melakukan perbandingan
antara dirinya dengan Tuhan
yang saling beterkaitan. Seperti contoh kata pada bait pertama baris ke 4 “Aku
panas dalam apimu.” . Dari bait itu dapat diketahui bahwa sang penyair memilih kata panas
dalam api sebagai suatu kedekatan yang erat, karena tidak akan adanya panas
tanpa ada api. Juga pada kata “Aku kapas dalam kainmu.” dan “Aku
nyala pada lampu padammu.” Wujud ini disebut sebagai suatu
indeksikal.
Dari diksi yang dipakai oleh penyair terdapat juga beberapa majas. Terutama
majas metafora, seperti yang terlihat pada bait pertama baris ke 3 dan ke
4. “Sebagai
api dengan panas.”, “Aku panas dalam apimu.” Pada
bait tersebut menunjukkan hubungan
yang melekat dan menyatu antara api dengan panas yang merupakan
perbandingan hubungan kedekataan
antara manusia dengan Tuhan. Ada juga pada bait ke 2 baris ke 3 dan ke
4 “Seperti kain dengan kapas.”, “Aku kapas dalam
kainmu.” Kali ini sang penyair kembali mencurahkan kedekatannya
dengan tuhan dengan perbandingan kapas dalam kain, yang mana kedekatan hubungan
nya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Terakhir, pada bait ke 3 baris ke 3 “Seperti
angin dan arahnya.” Penyair menggambarkan Tuhan sebagai “pemilik” yang menghidupi semua
kehidupan. Angin menjadi suatu
induk semang, dan sumber itu merupakan arah yang harus dituju manusia sesuai
dengan petunjuk (arahan) Tuhan
sang angin.
Tidak hanya majas metafora yang didapat dari
diksi dalam puisi ini. Ada juga majas Asosiasi pada bait ke 5 baris ke 2 “Kini
aku nyala” yang ditegaskan “Pada lampu padammu.” Nyala
pada lampu padammu menjelaskan bahwa sang penyair adalah salah satu dari orang
yang tetap menjalankan perintah-Nya di antara orang-orang di dunia yang tidak
peduli dengan semua perintah tuhan. Kata "padam" melambangkan
ketidakpatuhan manusia.
Permainan
bunyi yang digunakan oleh penyair
juga benar-benar dapat menyatukan perasaan antara dirinya dan para pembaca.
Pada setiap baris dalam puisi tersebut terdapat asonansi* /a/ yaitu pada kata sebagai, api, dengan, panas,
aku, dalam, kain, angin, arahnya, kapas, pada,
lampu, dan padammu. Huruf vokal /a/ sering dimunculkan
untuk menimbulkan nada dan suasana gembira karena penyair sangat senang bisa
selalu dekat dengan Tuhan.
Selain asonasi /a/ yang dipakai, terdapat
juga aliterasi* /t/ yaitu pada kata kita, begitu, dan dekat dalam kalimat “Kita begitu dekat” yang
terus berulang pada tiap barisnya. Juga aliterasi /k/ yaitu pada kata aku,
kapas, dan kainmu dalam kalimat “Aku kapas
dalam kainmu” pada bait ke 2 baris ke 4. Dan aliterasi
/l/ pada kata dalam dan gelap pada
kalimat “Dalam gelap” pada bait ke 5 baris pertama.
Secara keseluruhan bunyi yang digunakan
penyair dalam puisi tersebut untuk memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus, menimbulkan perasaan
tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara jelas. Bunyi-bunyi
vokal yang sering dihadirkan dalam tiap baris maupun bait menunjukkan
perasaan riang, kasih, dan suci antara hamba dengan Tuhannya. Sementara
bunyi-bunyi konsonan memberikan ketegasan dan keseriusan dalam tiap katanya.
Walaupun seorang Abdul Hadi WM lebih memakai perbandingan yang
dirasakan di dalam dirinya (abstrak), terdapat juga kata konkret dalam puisi
ini. Pada bait pertama ada kata "api" yang melukiskan
pencipta, juga pada bait ke 2 ada kata "kain". Dari kata-kata
konkret pada puisi ini menghasilkan imaji yang lebih banyak mengandung imaji
pengelihatan, karena penyair selalu membandingkan wujud-wujud yang nampak di
dunia. Tidak perlu disebutkan lagi pada kalimat apa saja, karena memang hampir
semua kalimat di dalamnya mengandung imaji pengelihatan.
Kemudian ada pula imaji peraba pada
kata “panas” di bait pertama baris ke 4 “Aku
panas dalam apimu.” dan pada kata “angin” di bait
ke 3 baris ke 3 ”Seperti angin dan arahnya.” Meski
begitu, terdapat pengecualian pada baris berisi kata “Tuhan” yang
terus berulang pada tiap baitnya. Karena tidak akan ada yang pernah melihat,
mendengar, mencium, ataupun meraba tuhan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Asonansi: Merupakan
pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam
baris-baris puisi. Pengulangan begini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan,
kemerduan atau keindahan bunyi.
*Aliterasi: Merupakan
pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada
awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan
keindahan bunyi.
Untuk bentuk, puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat memakai
bentuk non konvensional (modern). Terbukti jelas pada tiap baitnya yang tidak
mengikuti pola puisi lama yaitu 1 bait berisi 4 baris. Puisi ini memiliki bait
yang bebas, di mana pada 1 bait berisi 4, 3, dan ada juga yang 1 baris. Lalu
terdapat tanda baca pada tiap barisnya yang juga mempertegas bentuk puisi ini
sebagai puisi non konvensional.
Abdul Hadi WM memang dikenal sebagai seorang
sastrawan dan penyair yang membawa konsep estetika puitika sufistik*, dan dari
puisinya satu ini terasa begitu jelas. Dari tema ia menggambarkan betapa dekatnya hubungan dirinya
(manusia) dengan Tuhan. Kata “Tuhan,
kita begitu dekat.” yang disebutkan
beberapa kali memperkuat bukti tersebut, bahwa penyair seperti sudah menyatu dengan Sang Maha Pencipta.
Nada yang dipakai penyair tidak begitu tampak luapan emosinya.
Tetapi semakin menuju bait akhir, untuk kata “Kita begitu dekat.” diberi
penekanan yang berurut semakin tinggi. Tujuannya, tentu agar lebih menguatkan
dan menegaskan perasaan yang dirasakan, yaitu perasaan puji-pujian pada Tuhan.
Penyair setuju bahwa ia bisa hadir ke dunia ini karena adanya Tuhan yang
menciptakannya (kedekatan emosi), seperti perbandingan-perbandingan yang ia gambarkan
dalam tiap kata di dalam puisi ini.
Hal-hal semacam itu sengaja disajikan untuk membuat para
pembacanya juga ikut terhipnotis merasakan hal yang sama seperti yang ia
rasakan. Rasa kedekatan terhadap Tuhan. Tetapi tidak hanya itu saja, penyair
juga merasa bangga pada dirinya “Dalam gelap kini aku nyala pada
lampu padammu.” Yang menyatakan bahwa ia telah menjalankan segala
perintah Tuhan dengan baik (menjadi penerang), di tengah orang-orang yang tidak
percaya ataupun tidak mengimani Tuhan (kegelapan yang melanda dunia).
Dari tema yang ada dalam puisi Tuhan,
Kita Begitu Dekat, terdapat amanat untuk selalu percaya akan adanya Tuhan.
Jangan pernah lupa meningkatkan rasa keimanan kepada Tuhan, karena hanya rasa keimananlah yang mampu mendekatkan
hubungan antara manusia dengan Tuhan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
*puitika sufistik adalah konsep estetika yang disemangati
oleh rasa cinta kepada tuhan, yang mewujud kepada tema-tema kesalehan spiritual
serta kesalehan sosial dalam karya sastra.
Daftar Pustaka
Budianta, Melanie. 2002. Membaca Sastra.
Magelang: Indonesia Tera.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.
2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Komentar
Posting Komentar