1. Landasan Teori
Secara konvensional, sebuah puisi biasanya menggunakan beberapa atau salah satu unsur secara dominan untuk membangun makna (Budianta, 2002: 4). Hal tersebut yang kerap memberi ciri khas menonjol pada seorang penyair, ada pengkhususan dari salah satu unsur pembangun puisi. Penulis melihat dalam karya Ajip Rosidi berjudul Hanya Dalam Puisi mampu membawa semua unsur penting stile, yaitu penyusunan bahasa-bahasa puitis, bunyi, dan citraan.
Abrams (1981: 192), menyatakan bahwa fitur stilistika (stylistic features) terdiri dari unsur fonologi ( bunyi ) yang biasanya khusus dan banyak dikaji di dalam puisi, sintaksis, leksikal, dan retorika (rhetorical) yang meliputi karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan kajian pada keseluruhan unsur stile. Pertama, pembahasan akan memulai dari aspek kebahasaan dalam puisi Hanya Dalam Puisi, lalu melihat pemakaian gaya bunyi, dan terakhir meninjau citraan yang dihasilkan.
Cara penggunaan bahasa untuk meyakinkan pendengar atau pembaca atau untuk memperoleh efek yang lain disebut sebagai retorika (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2014: 210). Dengan kata lain, retorika adalah penggunaan gaya bahasa untuk mencapai kesan estetis yang dapat mempengaruhi pembaca. Unsur-unsur yang terdapat dalam retorika ini termasuk bahasa figuratif (pemajasan), penyiasatan struktur, dan citraan.
Fonem adalah satuan terkecil bunyi bahasa yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kata. Dalam salah satu cabang ilmu linguistik, yaitu fonologi, fonem/huruf fonetik dapat dibagi menjadi dua, vokal dan konsonan. Huruf vokal hanya ada lima buah, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, dan fonem vokal keenam /ǝ/ yang merupakan modifikasi dari /e/ (Chaer, 2009: 13). Sementara itu huruf konsonan terdiri dari 21 buah /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, dan seterusnya, ditambah variasi bunyi /ny/, /ng/, dan /kh/. Bunyi memiliki peranan penting dalam pembentukan keindahan karya puisi.
Selain bahasa dan bunyi, kesan yang runcing bagi pembaca juga didapat oleh pemanfaatan citraan. Nurgiyantoro, (2014: 276) menyebutkan bahwa citraan merupakan sebuah gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Dalam hal ini, berarti citraan adalah kata dan bunyi yang ditujukan untuk membangkitkan efek yang berhubungan langsung dengan inderawi pembaca. Sejalan dengan pengertian tersebut, macam-macam pencitraan terhubung dengan indera manusia, seperti pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa. Melalui citraan, penyair seakan memberikan sarana bagi pembaca untuk membangun imajinasi lebih luas.
2. Analisis Stilistika Puisi “Hanya Dalam Puisi” karya Ajip Rosidi
Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky
Namun kata-katamu kudengar
Mengatasi derak-derik deresi.
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan gunung-gunung
Lalu sajak-sajak tumbuh
Dari setiap bulir peluh
Para petani yang terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi.
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari mencari Hawa.
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada situasi?
Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar.
Kubaca puisi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir: Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.
Penulis mengelompokan unsur leksikal, sintaksis, penyiasatan struktur, dan pemajasan ke dalam gaya bahasa. Sebelum mengkajinya dari baris ke baris, penulis memilih dua wujud eksistensi dari puisi Hanya Dalam Puisi. Pertama, adalah keberadaan aku (lirik) dalam ruang dan waktu aktivitasnya di depan puisi. Eksistensi ini ditandai dengan pemisah tanda baca titik dua. Tanda titik dua ini, seperti dalam (Sugihastuti, 2016: 106) dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian. Penulis menganggap gap berupa tanda baca titik dua digunakan sebagai peralihan menuju ruang yang lain, yaitu penggambaran (eksistensi metafora).
Jika pada eksistensi
yang pertama Aku (lirik) berada dalam
ruang dan waktu denotasi, pada eksistensi kedua, Aku (lirik) berada pada dunia metafora. Sebenarnya, ia masih berada
di ruang yang sama, namun pemerian ini berisi bentuk konotasi dari perasaan
penyair. Dapat dilihat baris pertama dan kedua tidak mengandung makna kias.
Kegiatan yang dilakukan Aku begitu
nyata, bahwa ia membaca puisi dari dua orang penyair di dalam kereta. /Willy dan Mayakowsky/ di sini
merupakan nama penyair. /Willy/
adalah sapaan akrab W.S. Rendra, penyair asal Indonesia yang seangkatan dengan
Ajip Rosidi. Sementara /Mayakowsky/
merupakan ejaan nama belakang penyair Rusia, Vladimir Mayakovsky. Baris kedua
ini tidak termasuk ke dalam metonimia karena adanya kata /puisi/ sebelum tanda titik dua, sehingga acuannya jelas bahwa itu
puisi-puisi dari Rendra dan Mayakovsky.
Lain
hal jika, baris itu berisi seperti berikut: /Kubaca
Willy dan Mayakowsky/.
Pemilihan kata /kudengar/ secara tidak langsung membangkitkan kata /derak-derik/ pada baris keempat. Unsur imaji pendengaran yang telah menempel pada kata /dengar/ memaksa penyair mencipta diksi berupa kata reduplikasi berubah bunyi /derak-derik/. Secara leksikal, pemilihan kata derak-derik dapat dimasukan ke dalam aspek ekspresivitas penyair. Maknanya, jika diasosiasikan dengan baris ketiga merupakan sebab, sebelum mencapai akibat pada eksistensi denotasi di baris kelima. Pada baris keempat juga terdapat ekuivalen dari pemakaian sinonim. Diksi yang dipilih penyair pada /deresi/ ditujukan sebagai keseragaman bunyi. Meski tidak begitu menonjol, Ajip Rosidi seakan tetap mengusahakan permainan bunyi bahasa. Kata /deresi/ di sini dipilih lebih baik dari kata /wagon/ atau /gerbong/.
Eksistensi Aku di ruang denotasi hadir di baris kelima. /Kulempar pandang ke luar:/ menjadi hasil/akbiat dari gabungan baris ketiga dan keempat, di mana Aku disadarkan bahwa hari telah senja dan ia memutuskan untuk menengok suasana di luar kereta. Lalu Aku masuk ke pemerian dari apa yang dia lihat. Baris keenam, /Sawah-sawah dan gunung-gunung/ berdiri sendiri. Namun pemaknaan isi pada empat baris terakhir merupakan satu kesatuan. Jika dibeberkan dalam bentuk narasi akan seperti ini: /Lalu sajak-sajak tumbuh dari setiap bulir peluh para petani yang terbungkuk sejak pagi. Melalui hari-hari keras dan sunyi/. Namun sekali lagi, pemisahan menjadi empat baris dilakukan untuk mengedepankan aspek bunyi.
Terdapat metafora pada baris ketujuh /Lalu sajak-sajak tumbuh/. Perbandingan hadir dari kata /sajak-sajak/. Dalam KBBI Edisi Keempat (2008: 1202) sajak (3) adalah gubahan karya sastra yang sangat mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan. Penulis menyimpulkan bahwa pemakaian kata /sajak/ berarti kisah atau cerita yang telah dilalui sang petani sepanjang hari, karena bersamaan dengan kata /sajak/ ada kata /tumbuh/ dan pada baris ketujuh kata /peluh/. Gambaran ini jelas melukiskan keadaan para masyarakat desa yang telah bertani sejak pagi sampai petang. Banyak cerita yang telah dilalui seiring tumpahnya keringat lelah.
Pemilihan makna suasana puisi di senja hari pun datang dari empat baris terakhir pada bait pertama. Terlebih fakta pada baris sembilan dan sepuluh melalui frasa /sejak pagi/ dan kata /hari-hari/. Baris kesepuluh juga memuat bentuk sinestesia dari /Melalui hari-hari keras dan sunyi/. /Hari-hari/ dapat ditangkap oleh indra pengelihatan, namun penyair menyandingkannya dengan kata /keras/ dan /sunyi/ yang merupakan indra pendengaran (keras dapat juga sebagai indra peraba). Pemakaian ini terkait dengan kesan keindahan yang coba dicapai dari keadaan nyata masyarakat desa.
Pada bait kedua diawali lagi dengan eskistensi Aku (lirik) di hadapan sajak-sajaknya. Selagi memandang keluar (masih berpaut dengan bait pertama), Aku seakan bercerita kepada Tuhan /Kutahu kau pun tahu/. Tidak adanya pemakaian huruf kapital sebagai acuan terhadap wujud tertinggi, dirasa karena penyair dalam puisi ini menganggap posisi Tuhan imanen. Penyair tidak menjadikan hubungannya dengan Tuhan secara transenden, ia beranggapan bahwa Tuhan ada di dekatnya, di dalam dirinya, sehingga tidak digunakan huruf kapital pada kata /kau/.
Saat diturunkan ke bumi, Adam dan Hawa terpisah. Hawa diturunkan di daerah Jeddah, Saudi Arabia. Sementara itu, Adam diturunkan di daerah Hindustan. Keduanya bertemu di Jabal Rahmah di dataran Arafah.. Kisah Adam dan Hawa ini dijadikan metafor akan nasib manusia di tangan Tuhan. Jadi bait kedua ini berisi seruan Aku kepada Tuhan tentang bagaimana segala hal di sekitarnya berlangsung. Pemilihan kata /Adam/ dan /Hawa/ yang begitu kental dengan isu agama semakin menjelaskan kepada siapa kata /kau/ ditunjukan. Tentu kepada sosok yang bertanggung jawab melempar Adam dan Hawa dari surga.
Bait ketiga, di awal, Aku kembali lagi ke hadapan sajak-sajaknya. Ungkapan /Tidakkah telah menjadi takdir penyair mengetuk pintu demi pintu/ menggambarkan perasaan yang Aku rasakan pada saat itu, ketika membaca Rendra dan Mayakowsky. Juga perasaan pembaca lain di luar sana saat membaca sajak. Penyair seakan mengetuk hati pembaca dengan kata-katanya. Hati dari Aku pun tergugah (diketuk) sepanjang perjalanan, membayangkan kehidupannya yang malang. Memang masa sesudah perang memberi banyak masalah baru bagi negara, seperti ketidakmerataan hidup, pengangguran, dan kemiskinan. Dapat dikatakan jika nasib Aku tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada masa itu.
Rupanya wujud eksistensi di bait ketiga berintegrasi sehingga mencakup metafora penuh. Metafora di sini memberi perbandingan nyata bahwa melalui karyanya, penyair membangkitkan perasaan di hati pembaca. Pemajasan ini dibuktikan melalui pemilihan kata /mengetuk/ dan /pintu/. Lalu pada baris ketiga, keempat, sampai kelima melukiskan sifat manusia yang selalu menyerah pada situasi, layaknya Aku (lirik). Penyair mencoba membuka hati manusia, melalui pesan-pesan dalam karyanya. Tetapi tetap saja, tidak semua orang dapat menyerap amanat yang ingin disampaikan. /Tak ditemui jenis yang tidak menyerah pada situasi/ seakan menjelaskan bahwa manusia selalu pasrah akan ketidakpastian hidupnya.
Bait keempat yang berisi dua baris berada dalam eksistensi metafora. Keseluruhan makna pada bait keempat mengarah langsung kepada sosok Tuhan. Khayalan Aku yang menatap keluar dari derasi kereta membentuk citra sebagian wujud Tuhan di antara lembah. Aku seakan melihat wajah Tuhan yang masih sabar menunggu manusia untuk sadar. Sadar bahwa salah satu cara menemukan takdirnya kembali adalah dengan menggenggam tangan-Nya yang terus menggantung. Penantian Tuhan kepada umat manusia ini dilambangkan oleh penyair dengan frasa /wajah sabar/ dan /tangan gemetar/. Secara bentuk, bait ini merupakan penyiasatan struktur paralelisme. Nurgiyantoro (2014: 252) menyebutkan paralelisme adalah pengulangan struktur gramatikal atau pengulangan struktur bentuk.
Eksistensi Aku di ruang dan waktunya yang pertama, kembali menjadiDalam kereta api kubaca puisi/ merupakan denotasi dari aktivitas yang memang dilakukan Aku. Kalimat ini adalah pengulangan dari bait pertama untuk kembali menunjukan kondisi Aku saat ini. Masih dengan struktur kalimat dan fungsi sama yang direpetisi.
Terdapat pendayagunaan bahasa yang unik pada bait kelima baris kedua. Penyair memilih untuk mencipta kata baru, yakni /turihan/. Hal ini terkait dengan aspek kreativitas. Nurgiyantoro (2014: 177) menjelaskan istilah ekspresif menunjuk pada penuturan sesuatu secara serta-merta, lontaran jiwa secara serta-merta, apa yang terlintas di hati langsung dilontarkan keluar, tanpa dipikirkan panjang. /Turihan-turihan hati/ penulis kelompokan sebagai ekspresi puitis spontan dari penyari yang maknanya serupa dengan curahan hati. Jika ditelaah ke belakang, itu terasa masuk akal, karena pembahasan di baris ini adalah mengenai puisi. Aku dalam eksistensi saat ini (lirik) tengah membaca pusi yang merupakan curahan-curahan hati para penyair.
Baris ketiga dan keempat menghadirkan bahasa figuratif berupa personifikasi dari kemunculan kata /jari/ yang disandingkan dengan /waktu/ dan kata /langkah/ dengan /takdir/. Bait ini pun merupakan penjelasan mengapa sosok Aku begitu pasrah dan meratapi hidupnya. Dijelaskan bahwa /Waktu/ atau kematian, mengusik usahanya mencapai takdir semestinya. Ia digoda bahwa takdir manusia adalah mati, sehingga tak berani berusaha mencari garis hidup sesungguhnya. Pengibaratan di sini terlihat dari /Waktu/ telah menjulur ke dalam mimpi yang telah diatur. Membuatnya sia-sia.
Bait terakhir berisi penyelesaian dari dua tempat di mana Aku berada. Aku beralih lagi pada eksistensi saat ini (lirik). Sepanjang perjalanan dalam kereta ia sudah digugah oleh sajak-sajak Rendra dan Mayakovsky yang menusuk langsung ke hati. Selama itu juga ia memandangi alam selagi memikirkan nasibnya yang muram. Sekali lagi ia berseru kepada Tuhan /Aku tahu kau pun tahu/, bahwa /dalam puisi semuanya jelas dan pasti/. /Dalam puisi/ penyair bebas menentukan semuanya karena ialah sang pencipta. Sementara dalam hidup, Tuhanlah yang menentukan kepastiannya.
Secara garis besar puisi ini jelas melukiskan kerasnya hidup manusia, terutama dari pandangan Aku sebagai sosok yang pasrah. Hanya Dalam Puisi juga menjadi bukti nyata akan ciri ekstra estetik puisi Angkatan 50. Puisi Angakatan 50 memiliki gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan. Mengungkapkan masalah-masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup (Pradopo, 2013: 31).
Puisi Ajip Rosidi, Hanya Dalam Puisi,
berbentuk nonkovensional dengan enam bait di dalamnya. Dari enam bait yang ada
ini, beberapa menggunakan permainan rima di akhir baris. Dari segi posisi kata,
sejumlah bait puisi dapat dikatakan memakai sajak akhir. Bentuk keseragaman
yang dihadirkan secara sengaja ini dimaksudkan untuk memberi efek kuat terhadap
pembaca dalam meresapi makna puisi. Perlu ditelaah dari bait ke bait agar
kekuatan sajak yang ada dapat terbukti keelokannya.
Bait
pertama berisi sepuluh baris. Beberapa di antaranya memakai rima di akhir baris
maupun di akhir kata. Pada dua baris awal terdapat asonansi vokal /a/, namun keindahan justru didapat
melalui persajakan dari bunyi /i/ di
tiap akhir kata. /Dalam kereta api/, Kubaca puisi: Willy
dan Mayakowsky/.
Pemilihan bunyi semi vokal /y/
membantu pertalian dari vokal /i/
yang terlebih dulu hadir. Selain karena aspek keakraban, kata /Willy/ pun dipilih penyair ketimbang
Rendra karena ia hendak menyandingkannya dengan /Mayakowsky/. Lalu jika dibaca dari kesatuan bunyi baris pertama /kereta api/ dan baris kedua /kubaca puisi/, akan didapat kombinasi
awal konsonan /k/ dan akhiran vokal /a/ dan /i/. Selain itu, eksistensi saat ini (lirik) pada baris pertama dan
kedua sengaja dipenggal oleh penyair untuk memberi penekanan rima akhir /i/.
Mengatasi # derak-derik deresi.
Pola yang sama digunakan untuk memanjakan lafal pembaca. Bahkan pada baris keempat sendiri kata /Mengatasi/ berhasil memunculkan pilihan kata /deresi/ untuk membangun efek bunyi persajakan akhir. Kata /deresi/ pun hadir bukan hanya dari rahim /Mengatasi/, kata reduplikasi ciptaan /derak-derik/ ikut membuai. Repetisi awal pada satu baris dimunculkan melalui gabungan konsonan-vokal /der/. Adanya pengulangan awalan /der/ menjadi penekanan akan dalamnya makna.
Baris kelima kembali
menggunakan persajakan akhir dalam satu baris. Gabungan vokal /a/ dan konsonan /r/ menjadi /ar/ dalam /Kulempar
pandang ke luar:/. Selain
itu, ada pertukaran bunyi di awal kata /Kulempar/
dan frasa /ke luar/. Konsonan /k/ dan /l/ menempati posisi penggerak, sementara vokal /u/ dan /e/ melakukan mobilisasi untuk mewarnai nada. Selanjutnya pada baris
keenam, penyair memilih kata reduplikasi penuh untuk memainkan bunyi /sawah-sawah dan gunung-gunung/.
Baris ketujuh dan kedelapan mengulang pemakaian sajak akhir. Memang pemakaian sajak akhir lebih dipilih pengarang karena nada di ujung kata maupun kalimat memberi efek tersendiri di hati pembaca. Kali ini ada kata /tumbuh/ pada baris ketujuh dan /peluh/ pada baris kedelapan. Suasana yang timbul seakan mengiba karena gabungan vokal belakang /u/ dan konsonan dalam /h/.
Kemudian pada dua baris terakhir bait pertama
membawa sajak akhir bunyi /i/. Bahkan
jika dibagi dalam dua periodus, irama bunyi yang didapat lebih intensif.
Melalui hari-hari # keras dan sunyi.
Gabungan dari
ragam konsonan yang menggandeng vokal /i/
mencipta suasana miris. Posisi mulut yang meringis ketika mengucap vokal depan
/i/ seakan bersamaan dengan makna
yang hadir dari nasib para petani desa. Bekerja tak kenal lelah, namun
kehidupan masih melarat. Perlu diingat bahwa efek bunyi tidak dapat dipisahkan
dari makna dan nada setiap baris dan puisi (Wellek dan Warren, 2013: 180).
Bait kedua sudah dimulai dengan keunikan vokal /u/ dan /a/ yang dimainkan sedemikian rupa. Baris pertama /Kutahu kau pun tahu:/ terasa seperti lagu. Kembali pemakaian bentuk kata yang diulang pada kata /tahu/ untuk menarik keindahan pelafalan. Baris kedua kurang begitu spesial dibanding baris pertama. Tetapi pada baris ketiga dan keempat penyair kembali mengenakan sajak akhir.
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari mencari Hawa.
Selain
bunyi /ga/ dan /wa/ pada akhir baris, ada pula bunyi gabungan /ri/ di akhir kata setelah munculnya kata /dari/. Lalu nada dan suasana yang timbul dari bunyi akhir /a/ adalah kepedihan kuat. Rongga mulut
yang membuka memberi tenaga untuk mendorong bunyi agar terkesan tinggi.
Baris
pertama di bait ketiga menawarkan akhiran bunyi di ujung kata. Baris ini dapat
dibagi menjadi dua periodus, namun anggaplah kata /menjadi/ dijadikan sebagai gap untuk meleluasakan unsur bunyi yang
ada. /Tidakkah telah
#menjadi# takdir penyair/. Periodus
pertama berisi bunyi /ah/ di setiap
akhiran kata. Sementara itu, pada periodus kedua bunyi /ir/ yang mengisi akhiran kata. Hal ini membuktikan bahwa persajakan
tidak saja didapat antar barisnya, namun dalam satu baris itu sendiri dapat
memuat unsur sajak yang ritmis.
Menariknya
pada bait ketiga selain di baris pertamanya, adalah melalui keempat baris
sisanya. Dimulai dari baris kedua sampai keempat, dapat dipisahkan menjadi
bentuk bait konvensional.
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada situasi?
Keempat baris
tersebut membentuk sajak berselang dari persilangan bunyi vokal /u/ dan /i/ di setiap barisnya. Pada bait pertama pun penyair sempat menyelipkan
sajak berselang. Tapi jika dipisah menjadi wujud tersendiri, maknanya tidak
menyambung. Berbeda dengan bait ketiga, baris kedua sampai keempat masih berupa
kesatuan isi yang sama.
Bait keempat berisi dua baris paralelisme. Bunyi yang terkandung di baris pertama dan baris kedua nyaris serupa.
Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar.
Penggunaan
kata serupa, yaitu /lembah/ dan /yang/, partikel /lah/ dan /mu/, juga sajak
awal /da/ dan sajak akhir /ar/. Kembali pendayagunaan unsur
repetisi ini sebagai pemanjaan terhadap pembaca. Memudahkan pembaca untuk
menangkap kesan yang diberikan penyair karena unsurnya diulang.
Kalimat
/Dalam kereta api kubaca puisi/
dipakai lagi, masih dalam bentuk sama persis. Kali ini membuka pemerian yang
juga mengusung bunyi vokal /i/, yaitu
/turihan-turihan hati/. Baris ketiga
tidak begitu menonjol, selain adanya bunyi akhir /i/ dari kata /jari-jari/
dan /besi/. Barulah pada baris
keempat dan kelima, sajak akhir baris hadir kembali. Bunyi konsonan-vokal /ur/ memaksa baris selanjutnya melahirkan
bunyi serupa. Oleh karena itu, penyair memenggal baris kelima, sehingga kata /kuatur/ dapat disandingakn dengan /Menjulur/ pada baris sebelumnya.
Sementara kata /sia-sia/ berdiri
terpisah sebagai baris keenam.
Baris
pertama dan sebagian baris kedua pada bait keenam, mengulang unsur bunyi yang
telah ada pada baris pertama bait kedua. Permainan vokal /a/ dan /u/ dalam /Aku
tahu. Kau pun tahu/ hadir
masih dengan fungsi sama. Menariknya di sini, bahwa terdapat pasangan dengan
vokal /a/ dan /i/ yang juga dimainkan. Baris kedua (sebagian) dan baris ketiga
menyusun asonansi seperti berikut: /Dalam puisi Semuanya jelas dan pasti/.
Dari keseluruhan puisi, dapat dilihat bagaimana vokal /a/ dan /i/ begitu sering muncul yang diiringi konsonan /k/ dan /m/. Kesejajaran antara sajak asonansi dan aliterasi, menjadikan puisi bersuara merdu, atau dapat dikatakan bersajak efoni. Pesan yang coba disampaikan oleh Ajip Rosidi kali mampu dibangun dari nada dan suasana yang dihasilkan bunyi-bunyi. Kerasnya hidup digambarkan melalui pilihan kata penghasil sajak. Secara sendu ada unsur vokal /u/ yang melukiskan kemuraman, sehingga intonasi turun. Ketika rasa mendayu bangkit, intonasi akan naik bersama bunyi vokal /i/. Meski tidak begitu utama, Ajip Rosidi tetap mengusahakan permainan bunyi, agar puisinya tidak terkesan kaku. Beliau berusaha membuat puisi ini hidup, layaknya lagu tradisional Sunda.
Puisi Hanya Dalam Puisi cukup banyak mengandung
citraan beragam dari keenam baitnya. Bentuk konkret akan objek-objek visual
mondominasi gambaran suasana yang dibangun Ajip Rosidi. Hal ini menciptakan
penonjolan citra pengelihatan pada semua bait. Di bait pertama, baris ketiga
dan keempat menjadi corak yang memberi warna resapan indrawi. Pada kedua baris
ini terdapat citraan pendengaran. Baris kedua, /Namun kata-katamu kudengar/
membawa kata /dengar/ yang jelas
mewakili indra pendengaran.
Selanjutnya pada baris keempat, terdapat ciptaan kata reduplikasi berubah bunyi, yaitu derak-derik yang diperoleh dari /Mengatasi derak-derik deresi/. Baik kata /derak/ maupun /derik/ merupakan tiruan bunyi, sehingga baris ini termasuk ke dalam citraan pendengaran. Lalu pada baris kesepuluh, kembali terdapat citraan pendengaran dari kata /keras/ dan /sunyi/. Sifat dari kata /sunyi/ jelas melekat dengan indra pendengaran (meski biasanya juga mencakup indra pengelihatan). Sementara kata /keras/ dapat ditalikan dengan indra pendengaran maupun peraba. Jadi, kata /keras/ penulis masukkan ke dalam citraan peraba, yang menghasilkan variasi citraan di bait pertama.
Bait kedua mengandung citraan pengelihatan dari keempat barisnya. Kata seperti, /terumbang-ambing/, /langit/, /bumi/, /terlempar/, /mencari/, /Adam/, dan /Hawa/ menjadi bukti yang dapat ditangkap oleh mata. Berlanjut juga pada bait ketiga, citraan pengelihatan masih menjadi utama. Kecuali pada baris kedua, di mana terdapat kalimat /Mengetuk pintu demi pintu/ yang menghadirkan citra pendengaran dan peraba. Kata /ketuk/ sebagai tanda, bertalian dengan suara yang dapat ditangkap telinga. Selain itu, /ketuk/ juga dapat dimasukkan ke dalam peraba karena aktivitas tersebut bersentuhan langsung dengan kulit.
Citraan peraba sekali lagi hadir pada bait keempat melalui kata /gemetar/. Kalimat /Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar/ pada baris kedua ini, berisi citraan peraba yang beriringan dengan citraan pengelihatan. Selebihnya, baik bait kelima maupun keenam, tidak lagi mengandung citraan lain selain pengelihatan. Ragam citraan yang terkesan ramai, sengaja dipilih oleh Ajip Rosidi untuk menggugah daya imajinasi pembaca dalam memaknai isi puisi, sama halnya dengan beliau saat mencipta karya tersebut.
3. Simpulan
Jadi, dapat diketahui kalau Ajip Rosidi jelas mewakili Angkatan 50 dengan tema-tema yang menggambarkan suasana muram dalam puisinya. Hanya Dalam Puisi menceritakan perjalanan Aku (lirik) di dalam kereta, ditemani dengan beberapa sajak yang menggugah hatinya dalam meratapi hidup. Hingga ia akhirnya mendapat kesimpulan bahwa hanya dalam puisi semua jelas dan pasti. Pilihan kata-kata di dalam puisi ii cukup puitis namun tidak berlebihan. Banyak pemakaian aspek eskpresivitas seperti /derak-derik/ dan /turihan-turihan/.
Dari analisis ini juga terlihat bagaimana Ajip Rosidi kerap mengushakan permainan bunyi yang sudah jarang dipakai pada Angkatan 50. Pemanfaatan efek bunyi-bunyi dimaksudkan oleh penyair, agar kesan yang coba disampaikan melalui setiap baitnya mampu sampai kepada pembaca. Gaya bahasa dan gaya bunyi ini membantu melahirkan citraan dalam puisi. Namun, dapat dilihat bahwa unsur ekspresif yang ditekankan oleh Ajip Rosidi begitu condong ke pemakaian gaya bahasa. Terutama diksi dalam puisi.
Alfarisi, M Zaka. 2007. Kisah Seru 25 Nabi & Rasul. Bandung: Mizan.
Budianta, Melani dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2013. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti,
Suminto, Jabrohim dan Chairul Anwar. 2001. Cara
Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sihaloholistick. (2014). “Puisi-Puisi Ajip Rosidi.”
[Onlline]. Tersedia: http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-ajip-rosidi.
[31
Desember 2016]
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1977. Theory Of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, inc. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
Komentar
Posting Komentar